Pada tahun 1974
Maulani (menurut khabar dari salah seorang rekan KPMI bahwa beliau
masih menyanyi di sebuah Pub di bilangan Kelapa Gading) menyanyikan
sebuah lagu karya A Riyanto dengan iringan band 4 Nada yang untuk penggarapan lagu ini 4 Nada full orkestra
judulnya Biarkan Bunga Berkembang yang
kemudian dinyanyikan lagi oleh A Riyanto, Tetty Kadi dan Endang S Taurina tapi sudah kehilangan nuansa spiritual touch-nya yang mana bagi saya lagu ini luar biasa sekali baik lirik maupun arransemennya.
kemudian dinyanyikan lagi oleh A Riyanto, Tetty Kadi dan Endang S Taurina tapi sudah kehilangan nuansa spiritual touch-nya yang mana bagi saya lagu ini luar biasa sekali baik lirik maupun arransemennya.
Namun lagi lagi pada kurun waktu setelah tahun 1977
dunia musik pop berkualitas redup kembali karena lagu-lagu pop era model Eddie
Silitonga, Kembar Group, Madesya Group,
UsBross,NoKoes dll yang lagu-lagunya mellow
bin letoy bermunculan sedangkan musik panggung dan rock sudah nyaris punah
tergilas oleh musik New Wave dan Disco
dan Majalah Aktuil serta Top sebagai
media yang mengusung perkembangan musik anak anak muda saat itu pada tahun 1978
telah pula berubah wajah menjadi majalah panas
dingin bin esek esek.
Pada masa masa
kritis seperti itu untunglah muncul Barong Band yang dimotori
oleh Eros Djarot yang baru saja pulang dari Jerman .Eros dan Epot merekrut anak anak Pegangsaan seperti Debby dan
Gaury Nasution maka jadilah dua album Barong Band yang melawan arus saat itu; Kawin Lari dan Nyanyian Hati namun mereka tidak bisa dibilang sukses dalam
pasaran karena saat itu musik mereka dianggap sangat berat untuk telinga awam
dimana seperti pengakuan Eros sendiri mereka meramu musik mereka dengan lagu
lagu dari Johan Sebastian Bach Beethoven dllwalaupun ada beberapa lagu yang
sempat dikenal seperti Halleluya dan Superstar Tenggoyang menyindir bahwa di
Indonesia ini begitu mudahnya masyarakat atau wartawan memberi predikat
superstar sehingga pelawak Ratmi B 29-pun dijuluki Superstar.
Sebelumnya dari Bandung muncullah si Budak Bangor Djauhar Zaharsyah
Fachrudin Roesli alias Harry
Roesli dengan sebatalion musisi rock dan tradisionil Bandung membuat
proyek ajaibnya yang menggabungkan musik tradisionil Sunda dengan rock maka
jadilah album Titik Api yang oleh
banyak orang dikatakan sebagai sebuah mahakarya original yang luar biasa dimana
Harry mentradisionilkan musik rock dan Sunda dengan suksesnya coba simak lagu Kebo Jiro, Sekar Jepun, Prolog, Epilog
yang diramu dengan menggabungkan musik rock dengan gendang pencak, rebab, trompet
tradisionil dan Karawitan Sunda dengan begitu harmonis walaupun dengan system
rekaman yang ala kadarnya saat itu.
Bandung yang
pada tahun tujuhpuluhan disebut sebut sebagai kota dan sarang-nya musisi beken
dan memang merupakan kota yang sangat produktif bagi para seniman dan
anak anak band salah satunya adalah Giant Step yang di motori
Benny Soebardja group pecahan dari Shark Move ini pada tahun 1977 melemparkan
album ‘Kukuh Nan Teguh’ yang menurut Riza Sihbudi permainan Triawan pada keyboard sebagai luar
biasa pada masa itu, inilah album murni Giant Step yang seluruhnya berbahasa
Indonesia karena sebelumnya band ini baik di panggung maupun pada rekaman
selalu membawakan lagu lagu Inggris hasil ciptaan mereka sendiri.
Seiring dengan suksesnya proyek ajaib Harry Roesli Titik Api maka anak anak Jakarta-pun tidak mau ketinggalan , di penghujung
tahun 1976 Guruh Soekarnoputra dan anak anak Gipsy
dan Abadi Susman serta beberapa musisi Bali diboyong ke studio Tri Angkasa
untuk membuat suatu proyek raksasa memadukan gamelan Bali dengan musik rock
,Guruh mengajak Kompiang Raka ( yang kemudian menjadi Wakil Direktur Gedung
Kesenian Jakarta) untuk memuluskan eksperimennya. (MH. Alfie Syahrine)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar